DERAP KAKI RIBUAN KUDA
Zulkarnaen Ishak
-- Mengenang ayahanda alm. Harun Ishak

Aku tahu, ribuan kuda selalu berderap-derap dalam kepalaku, lalu lenyap tertelan halimun. Mungkin suatu saat aku perlu menunggangi salah satu dari ribuan kuda itu. Memacunya ke tempat-tempat yang tak terjangkau oleh khayalanmu. Tapi sebelumnya, biarkan aku bercerita. Biarkan aku bercerita….
☼☼☼
Nubuat dan Serpihan Ingatan
1.
“Kalau benar selama tiga malam berturut-turut kau bermimpi tentang sosok berjubah merah tertiup angin yang berdiri di atas bukit dengan jemari mencengkeram tongkat, maka waspadalah! Karena dalam kitab kuno yang pernah kubaca, setelah Iblis diusir Tuhan dari surga lantaran menolak bersujud di hadapan Adam, ia, dengan amarah seluas jagat raya, di sebuah bukit yang dihuni kawanan ular berbisa, bersumpah akan menjerumuskan anak-cucu Adam ke dalam kegelapan. Mulai saat ini perhatikan langit! Apabila pada dini hari yang menghampar di langit adalah cahaya jingga senja, maka bersiaplah-siaplah, itulah masa datangnya balatentara Iblis ke bumi.”
Aku terkesima mendengar takwil mimpi yang diocehkan lelaki yang duduk di hadapanku itu. Kakek berjenggot panjang yang memperkenalkan diri sebagai pengembara. Namun kukira, ia lebih pantas disebut juru ramal. Juru ramal yang datang dari sebuah kota di jazirah yang jauh, berkelana meramal nasib manusia lewat garis wajah, guratan-guratan acak di telapak tangan, patahan-patahan mimpi, bintang-bintang yang bertakhta di lengkung langit biru. Juru ramal yang mengaku lahir dari celah pohon beringin berjarak puluhan hasta dari runtuhan kuil di kotanya.*
Ini entah malam ke berapa setelah aku memimpikan sosok asing itu. Dan aku masih saja bersama kakek pengembara. Jubahnya meruapkan aroma lain, seperti campuran bau bunga mawar dan kemenyan. Atau sangit belerang. Matanya menerawang ke arah bukit. Sesudah itu ia mengalihkan pandangan ke pohon randu yang berdiri di pekarangan rumah; sesekali matanya memicing, sesekali menyorot tajam, seakan mengindra seleret pertanda, menyelisik sebujur nubuat. Ia terlihat gelisah. Angin bertiup lembut, menyusup ke rimbun belukar. Jutaan bintang berpendaran bagai kafilah malaikat bersayap cahaya. Dan di tengah kesunyian itu, selimbur bunyi, alunan suling atau lengking nafiri, merayap pelan, melenting dari atap rumah yang satu ke atap rumah yang lain.
Pengembara tua tetap membisu. Di antara dua alisnya segaris ceruk memanjang lurus ke atas. Ceruk yang pangkalnya membelok ke tepi mata kiri, sendiri di antara seliweran kerutan. Terkadang aku suka mengkhayalkan ceruk itu sebagai sungai kering yang mengutuk ikan-ikan menjadi batu-batu, atau ngarai yang bertahun-tahun menyimpan gaung kepak sayap burung-burung yang bermigrasi ke arah entah. Ngarai yang mengabadikan aneka macam raung binatang hutan.
Sungguh, ia begitu ringkih. Di matanya terlihat kubangan lumpur tempat segenap yang bernama membeku, semacam genangan kenangan yang menyesakkan. Peristiwa apa yang telah mengeruhkan mata tua itu? Namun bibirnya yang hitam tertimbun ampas nikotin menyunggingkan senyum bocah yang riang. Dan tangannya? Tangan kurus dengan jemari kaku, dan noda pigmen yang membercak di sana sini. Telunjuk kanannya berwarna kekuning-kuningan, mungkin bekas cairan minyak zakfaron yang sering diusapkannya ke hidung dan jubahnya. Telapak kakinya, meski selalu terbungkus kasut saban kali ia bepergian, tetap saja bersisik dan pecah-pecah. Waktu telah menorehkan banyak jejak di tubuhnya.
Angin berembus dari banyak arah. Mengantar debu dan embun. Keluh dan lenguh.
Dari arah lembah yang pekat oleh gerumbul pepohonan, lolong serigala susul-menyusul dengan raung burung hantu. Sepasukan kunang-kunang berlesatan, berkitaran, seolah mengabarkan maut yang sedang menyongsong. Kunang-kunang: serangga malam yang konon lahir dari percikan air mata peri yang bersedih, yang menyanyikan kidung pilu buat bayi-bayi yang belum terlelap.
Dan wahai, inilah kesaksianku yang menggentarkan. Di dahi sang kakek kulihat bentangan gurun, pohon tumbang, serakan tulang belulang hewan. Mendadak hujan deras meluruh cepat menghunjam butir-butir pasir, dan beberapa saat kemudian air menggenang menjelma menjadi laut, memantulkan warna jingga. (Jingga senja semesta kaum durjana?). Mungkin itulah sumber deru angin berdebu dan gemuruh ombak yang bersahutan dengan jerit serak ikan-ikan yang kerap terdengar pada malam-malam aku bersama kakek itu.
Namun ia mengaku bukan siapa-siapa. Semata-mata seorang pengembara.
Ia menatapku, mencoba meraba-raba isi kepalaku, mungkin terusik oleh semua khayalan lancangku tentang dirinya. Lalu, perlahan kudengar dia menggumamkan nama sebutir bintang, mantra sebuah kitab kuno, gerombolan macan tutul yang raib ditelan rawa-rawa gaib, hikayat tujuh ekor burung bulbul. Ia menyebut arakan kabut tipis, seekor kalajengking, bongkahan batu cadas, akar-akar yang berbelitan. Ia membilang buah larangan yang menggelantung di pohon keabadian, sepasang malaikat penjaga surga dan neraka, tanduk runcing dan taring tajam setan, unggunan rajah....
Dan waktu lambat laun mulai mengabu di rongga matanya, menyusun kisah atau semesta yang lain. Bulan sabit kuning pucat berlayar dalam hening. Bayang-bayang mengeras di atas tanah, di hamparan dinding rumah, di celah bukit, di lubang pohon, di retak batu. Angin merintih perih.
Ketika sunyi kian menekan malam dan pijar lampu minyak tanah semakin melemah ditelikung angin, ia mengeluarkan sebuah kitab dari balik jubahnya. “Ini kitab warisan guruku. Esok pagi aku akan melanjutkan perjalanan,” ucapnya.
Membaca kitab, merunut segenap peristiwa lampau, meraba isyarat masa depan, apa sebenarnya yang kudapat? Bisakah aku hidup tanpa kata, tanpa kitab? Ataukah aku beroleh wujud karena kehadiran kata? Apa sesungguhnya yang kucari. Apakah aku akan kehilangan kata saat mencari makna? Apakah aku juga akan kehilangan kata saat menemukan makna? Namun apakah dengan begitu segalanya mesti bermakna?
“Terimalah kitab ini. Dan segeralah kau mempelajarinya. Sebab empat puluh hari setelah aku pergi, kitab ini akan lenyap, dan seluruh aksaranya kelak muncul kembali sekian ribu tahun kemudian dalam bentuk rajah yang tertatah di sekujur tubuh sepasang anjing aneh bermata tiga. Di saat itulah manusia buruk rupa bernama Dajjal datang, menyalin rajah-rajah itu dan menyerukannya sebagai ayat kitab suci. Di saat itulah seorang nabi yang lolos dari tiang salib dikirimkan kembali ke dunia.”
Aku tak bersuara. Hanya mengangguk-anggukkan kepala.
“Telah kulihat apa-apa yang tak dipahami orang lain. Sudah kurenungkan segala yang ditampik orang lain. Silakan menyangkalku. Tapi percayalah, di alam berikutnya kau akan bangkit dari kematian panjangmu hanya untuk mencariku, bersaksi atas kebenaran nubuatku.” Ia kembali berujar, mencoba meyakinkan diriku.
Aku tak tahu adakah ucapannya itu mengandung dusta. Namun apakah dusta itu, dan apakah yang bukan dusta? Bukankah kata-kata, bahkan yang tampak lugas sekalipun, senantiasa menyimpan makna yang kabur? Pada kelugasan sebuah kalimat, pada keluwesan suatu cerita, mendekam teka-teki yang barangkali hanya disadari oleh hewan dan makhluk jadi-jadian yang disusupi roh orang mati yang tak mendapat tempat di alam barzakh.
2.
Tak ada yang sesuatu yang pantas dikenang dari kota ini. Tak ada yang tersisa dari kota ini, selain pedang karatan, patahan tombak, pelana kuda, bangkai anjing dan lembu.
Runtuhan rumah-rumah. Belanga-belanga retak. Pohon-pohon tumbang. Tebaran dedaunan. Gundukan sampah. Puing-puing kuil. Altar gosong. Sulur pohon beringin. Serakan kantong-kantong air. Sumur angker. Sungai kering.
Orang-orang sudah lama mengungsi. Menyisakan kisah dan keluh. Jejak-jejak kaki kuda. Tilas kafilah. Gerusan terompah. Tenda-tenda dari bulu domba. Botol dan piring. Pisau dan kitab.
Pekat. Kelimun debu.
Tumpukan batu di tanah lapang, semacam benteng permainan anak-anak. Agak ke timur sebuah patung tegak berdiri dengan leher terjerat tali. Di celah tangan kirinya yang retak terselip lembaran kertas berisi bait syair. Dan seorang anak telah usil menuliskan namanya di situ.
Lihat, tak ada unggun api di malam hari. Tak ada dengus serangga. Melulu ceceran darah kering. Bangku-bangku lapuk. Juga pecahan cermin.
Di pelataran langit gerombolan gagak terus menari. Melimbur padam sinar bulan. Raung burung hantu membekap erang malam. Menikam lembah.
Ah, kota tua, tempat tuhan menjadi sekadar dongeng cengeng. Tempat nabi dikenang semata sebagai perapal mantra dan pewedar kisah-kisah tentang ihwal gaib yang tak masuk akal. Tempat wali hanyalah penggembala kurcaci yang beringas menggali kubur sendiri.
Maka, siapa gerangan yang sudi menukil firman ketika hujan bukan lagi isyarat kudus, sedangkan rawa-rawa hanyalah lambang kelam. Surga yang gagal diwujudkan di atas bumi.
Bertahun-tahun kemudian. Seorang zindik dari antah-berantah dengan tongkat yang bisa menjelma menjadi ular, ditemani seekor anjing kudisan, menambatkan perahu di barat pantai, lantas menyusuri jalan ke utara, sampai tiba di halaman bekas kuil. Dan di sana ia memancang kemah. Lalu ia mulai menyusun peta dan riwayat baru. Menitahkan amar.
Sejak itu, orang-orang berdatangan membangun kota Iblis.
Ratusan minggu berlalu. Aku lahir. Dari rahim perempuan anak penggembala domba yang ketika dewasa memilih takdir sebagai tukang tenun. Saat itu kotaku sangat ramai, telah menjadi kota niaga, tempat para pedagang dari pelbagai kota dan pulau menjajakan dan bertukar barang dagangan, bahkan ada yang datang dari seberang benua. Tempat para penyair terbaik di jazirah bertanding membacakan syair-syair mereka, dan anak-anak penggembala menelantarkan domba mereka dan lebih memilih menjadi pengamen atau pemandu jalan. Para pesulap datang silih berganti, memperagakan tipuan-tipuan dari yang paling halus hingga yang paling kasar.
Dan ketika aku berusia seperempat abad, lelaki tua zindik, yang membangun kembali kota kami dan menjadi guru bagi siapa saja yang ingin menyibak rahasia langit dan semesta, mewariskan kepadaku kitab yang aksaranya hanya dapat dimengerti oleh orang yang sudi menghabiskan malam-malamnya dengan mendaraskan wirid-wirid yang terdengar janggal di telinga penduduk kotaku. Dua puluh satu purnama berlalu sejak aku menerima kitab sang guru, dan tibalah saatnya bagiku untuk pergi, berkelana ke tempat-tempat jauh dan selamanya tak akan pernah lagi menginjak kotaku. Aku telah bersumpah untuk mati di tanah rantau, mungkin di satu negeri di mana aku sendiri bahkan tak lagi mengetahui namaku.
Aku pergi, meninggalkan seluruh masa lalu yang dihidupi kenangan yang sungguh janggal. Guruku, lelaki tua zindik itu, dibunuh oleh murid-muridnya sendiri. Patungnya yang megah, yang dibangun di bundaran jalan raya kotaku, dirobohkan oleh para warga yang sebelumnya sangat memujanya, yang semula menganggapnya tuhan. Dan tahukah kau siapa yang menghasut orang-orang untuk membunuh guruku? Dialah ayahku, saudagar pemakan riba.
Aku, murid setia si lelaki zindik, akhirnya memilih hengkang. Memilih berpisah dengan orang tuaku sendiri.
Maka aku berjalan, menelusuri jalan-jalan sunyi yang hanya dilewati kawanan penyamun. Mengarungi samudra. Menyeberangi sungai dan gurun. Melintasi gunung dan lembah. Membaca dan merenungkan kejadian-kejadian.
Jalan-jalan berdebu. Jalan-jalan berembun. Jalan-jalan berlumpur. Jalan-jalan melurus. Jalan-jalan menikung. Jalan-jalan mendaki. Jalan-jalan menurun. Rambutku perlahan-lahan mulai beruban, kulitku mulai berkeriput.
Aku mengingat masa silam dengan ingatan yang kelam, sekelam mata dan kulitku. Tapi tak ada yang perlu disesali. Tak ada yang perlu ditangisi. Diriku kini adalah gerbang rupa yang mengabaikan ruang, yang mati rasa, karena waktu telah menjadikannya onggokan mayat yang kesepian.
Aku berjalan, dan tiba di persimpangan pertama sebuah desa ketika sepasang anjing mengaing sekarat. Kemarau mulai menyusun malam dari debu yang dihentakkan kaki kuda. Remuk sinar matahari menyerpih, menyusup ke dalam pori-pori tanah dan batu-batu dan pohon-pohon, lalu kelak bangkit kembali dalam wujud sejuta kupu-kupu.
Aku berjalan. Sepasang anjing, terdengar sayup-sayup, masih mengaing sekarat. Tak mati-mati. Ada arwah yang gemar bergentayangan menguntitku.
Lihat, bulan menyinari bekas gelimpangan jisim kaum pertapa.
Patahan ranting dan lolong pedih serigala lamat-lamat merangkai sebercak isyarat, memandu aku untuk lekas mencapai runtuhan kuil, berpuluh-puluh hasta dari tebing jurang. Di sana aku harus tiupkan ruh ke mulut patung-patung retak yang ribuan musim setia mengulum rajah angin.
Ketika aku tiba di persimpangan berikutnya, hujan adalah kawanan anjing yang mengejek maut. Saat itu kuabaikan arah mata angin. Sebab semuanya hanya isyarat iseng para kurcaci. Aku lebih memilih menyimak kisah yang luput dituliskan tuhan dalam kitab suci. Lalu aku akan menari. Bersama patung dan anjing.
Selintang gemintang di ufuk selatan langit. Tubir sunyi tak berhingga. Bunyi gugur daun berdetak samar. Hamparan rumput basah. Ricik air sungai.
Jejak binatang berakhir di gua gelap.
Bongkahan batu cadas terbelah. Sekerumun patung berbalut lumut. Kunang-kunang menyemburkan bara api.
Malam menggerowong.
Angin basah. Bau hangus. Kubur-kubur terbongkar, diacak-acak entah oleh apa dan siapa.
Belatung membangun rumah di lipatan kulitku. Seekor kadal, tersapu sinar bulan, menyeberangi jalan setapak yang membujur di hadapanku. Kutangkap dia, dan kulihat lidahnya buntung. Tubuhnya penuh goresan duri. Kulepas dia, dan dia menggelepar-gelepar.
Seekor lelawa meliuk-liuk.
Pada dini hari, tercium bau tanah yang tak tersentuh cahaya. Udara mengapungkan geram matahari. Ada sisa tulang belulang anjing di dekat sebatang pohon yang kulitnya mengelupas dan terbakar, membentuk sebuah geometri aneh.
Pada tahun ke sekian dari waktu pengembaraanku yang panjang, aku tiba di sebuah negeri di jazirah hijau yang entah kenapa mengingatkan aku pada kotaku. (Mungkinkah negeri ini adalah kotaku saat aku dibangkitkan kembali dari kematian?).
Di rumah kecil di lereng lembah.
Berhari-hari aku mengurung diri di dalam kamar. Mengingat apa-apa yang perlu diingat. Melupakan apa-apa yang perlu dilupakan.
Suatu malam, di tengah liuk lemah nyala lentera dan bentangan kain putih, kulihat tubuhku memantulkan bayangan makhluk raksasa bertanduk yang gagah melaknat silsilah. Mengutuk kisah penciptaan. Satu suara tiba-tiba menghardik, “Kau, makhluk durhaka, yang abai pada asal-usul!”
Engkaukah yang meletupkan titah itu? Engkaukah yang menjatuhkan kutuk itu? Puih, kuludahi engkau. Dan aku akan terus meludah. Dan lihatlah, laut tercipta dari air liurku. Aku pun menjadi lanun yang gemar mengulum nujum, mendedah mantra, membajak rasi bintang ciptaanmu agar bahtera nabi pesuruhmu tersesat menjauh dari daratan.
Aku memang seorang pengembara yang murtad. Maka, kuempaskan napasku. Puting beliung yang meluluhlantakkan kuilmu. Kuruntuhkan kuilmu. Dan di atas runtuhan kuilmu itu kubangun kuilku. Aku ingin semua orang melupakanmu. Aku ingin semua orang hanya menyembahku.
Tapi ke mana harimau kumbang bertaring yang lahir dari igau gaibku itu? Adakah engkau menyekapnya di labirin yang dibangun malaikat pengikutmu?
Aku bersumpah, akan kutiupkan api membakar langitmu. Akan kukirimkan rayap mengerat kitabmu.
Kitab dan Teluh Waktu
Kau menemukan dia duduk sambil memejamkan mata, tegak, lazimnya rahib Zen yang sedang bermeditasi. (Ataukah dia memang tengah bermeditasi? Sebab bintang di langit begitu bersinar. Saban kali seseorang bermeditasi maka di saat itu pula sebutir bintang memekarkan terang cahaya.). Tubuh kisutnya menjulang laksana sebilah galah tipis menuding langit. Jemari kedua tangannya saling bertautan, menyatukan anasir tubuh sisi kanan dengan tubuh sisi kiri, yin-yang semesta. Di tembok, bayang-bayangnya terpahat samar. Bayang-bayang yang tercipta dari cahaya remang lilin. Bayang-bayang di ambang sekarat. Sejenak kau menatapnya, memastikan bahwa dia tak menyadari kehadiranmu. Ia terus memejamkan mata, menjadikan kegelapan rumah keabadian yang sejati.
Kau ingat, ia, sewaktu kau usil bertanya, pernah mengatakan bahwa di saat bermeditasi dia seperti mendengar keloneng lonceng menyayat telinganya. Ia betul-betul tersiksa, namun justru karena itu ia merasa tabir perlahan mulai tersingkap. Tabir apa, tanyamu. Tabir yang memisahkan dirimu dari Sang Penguasa Waktu, sahutnya. Meditasi membuat dia merasa bergerak bersama benda-benda angkasa raya dalam jalinan gaib yang tak terbahasakan. Saat itu kau cuma tertawa, menganggap omongannya lelucon.
Namun kau lantas terusik. Aku ingin tahu, apa yang terlihat olehmu, kau bertanya lagi. Ia tak menjawab. Maka, kau pun mencoba menebak-nebak apa yang dilihatnya sewaktu bermeditasi. Boleh jadi ia melihat gerombolan kera bertengger dan bergelantungan di dahan-dahan pohon. Boleh jadi ia melihat kisaran air laut memuntahkan puing-puing kapal karam ke daratan, lalu dari dalam kisaran itu muncul lelaki berjubah dan besorban hijau, dengan pelangi setengah lingkaran yang kedua ujungnya menyentuh permukaan laut sebagai latarnya. Sosok agung itu menunggangi ikan sejenis lumba-lumba melesat di atas air.
Buat apa aku memikirkannya, kau membatin dengan segumpal rasa jengkel. Kemudian, kau melangkah hati-hati ke sudut timur kamar. Di sana teronggok dua bilah kelewang yang di ujungnya terukir gambar seekor naga melilit matahari, boneka-boneka kayu tanpa kepala, bendera-bendera putih yang pinggir-pinggirnya dibaluri rajutan benang biru, batang-batang semambu, cambuk kuning, mata lembing, wadah dupa, genta-genta rumpang, gendang-gendang usang, ladam-ladam kuda, trisula, biji-biji kerang, pecahan-pecahan batu meteor, empat kotak kecil berbentuk kubus berisi gulungan-gulungan kertas jimat, sanggurdi, dan pelana. Tetapi yang lebih membetot perhatianmu adalah sebuah kitab bersampul kulit warna hitam. Kau membawa kitab itu ke ruang tamu, menaruhnya di atas meja. Lantas kau beranjak ke dapur, dan kembali ke ruang tamu sembari membawa secangkir teh panas, yang uapnya membentuk liukan asap yang getas, begitu mudah diempas angin. Alih-alih langsung membaca kitab, kau malah mengintip sejenak keluar dengan menyibak kain jendela.
Di luar, bulan mengerucut sedih, terhalang gumpalan awan. Di ufuk selatan, bintang pari berwujud salib memancar benderang.
Didorong rasa ingin tahu yang mahahebat, kau membuka lembar demi lembar kitab berukuran 16 x 24 sentimeter itu. 176 halaman. Di halaman awal kau baca pengakuan muram dari sang penulis: “Aku pendongeng yang datang dari sebuah kota yang dilaknat Tuhan, dan karena itu aku tak pernah berharap dimuliakan orang.” Selanjutnya: “Demi masa yang selalu luput dari cengkeraman para makhluk. Demi matahari dan bintang-bintang yang penciptaan mereka mendahului penciptaan manusia. Demi hewan-hewan yang tiap derap kaki dan kibasan ekor mereka menebar pertanda, maafkan aku. Di dunia ini, di mana segala yang kotor membaur dengan apa yang dianggap suci, aku cuma bisa bercerita, memberi kalian dongeng yang tak akan pernah kalian dengar dari orang lain, yang barangkali nanti hanya dapat kalian simak dari mulut burung-burung.”
Di halaman-halaman berikutnya terurai banyak cerita, di antaranya tentang lelaki yang bisa berubah menjadi binatang bila merapal mantra-mantra khusus, serta perempuan-perempuan bersisik yang di siang hari berjalan-jalan ditemani kucing dan anjing yang kaki kanan depan mereka pengkor, dan di malam hari mereka membungkus tubuh mereka dengan seprai merah, menyembunyikan kulit ular mereka, membawakan tarian yang awalnya lembut namun perlahan-lahan berubah menjadi liar seraya menggonggong dan mengeong. Juga tentang perempuan cenayang yang suka berkeliaran di malam hari dan mengeluarkan suara pok-pok, terbang dalam keadaan telanjang dengan rambut panjang terurai sebelum akhirnya nangkring di atap rumah, mencari kesempatan merogoh jantung bayi lewat duburnya untuk kemudian memakannya.
Di halaman akhir kau temukan coretan-coretan huruf yang sulit dibaca, juga gambar-gambar yang mirip dengan apa yang pernah kau lihat di sebuah ensiklopedia arkeologi. Mungkinkah itu sandi-sandi? Mungkinkah itu rajah sebagaimana yang tertera dalam kitab kuning milik ayahmu?
Kau tidak tahu. Namun mursyid tarekat, yang kau jumpai ratusan pekan yang lampau di kampung jiran saat kau berada dalam perjalanan pulang ke rumah, berkata bahwa kelak kau akan menemukan satu ramalan pada kitab milik seorang pengembara tua.
Apakah kitab itu yang dimaksudkan oleh sang mursyid?
Tiba-tiba secuil hasrat ganjil muncul dalam dirimu. Hasrat untuk membayangkan kemungkinan bahwa kitab itu dikarang oleh sekelompok penghujat, kaum bidah yang lolos dari hukum pancung khalifah, sekian abad silam. Kitab yang mengolok-olok kebesaran Tuhan, memuat doa dan rajah bikinan setan. Penuh cercaan dan bualan nista.
Kau mencermati rangkaian kata dan jejeran gambar yang seolah lahir dari erang malaikat itu (bukan, namun lahir dari dengus Iblis). Di baris tengah yang mengantarai jkerumunan alinea dan bentangan gambar, termaktub kalimat “Kura-kura hura-hura. Kura-kura pura-pura. Hulapa hulawa duwiwi tilala. Demi kura-kura yang berlari kencang, yang memercikkan api di batu-batu!”
Demi kura-kura yang berlari kencang, yang memercikkan api di batu-batu. Sepotong ungkapan -- seleret mantra? selarik madah? -- yang samar-samar mengingatkanmu pada wahyu Tuhan. Demi kuda-kuda yang berlari kencang, yang mencetuskan api dengan rentakan kuku kaki mereka.**
Kututup kitab. Aku tidak tahu pasti perasaan macam apa yang telah menghasutku untuk menghentikan bacaan. Mungkin rasa jenuh, mungkin rasa tenteram. Atau boleh jadi sebersit keraguan yang biasa dialami para filsuf. Tapi celakalah aku jika sampai menganggap diriku filsuf.
Aku berani bersumpah, apabila orang -- yang terpesona melulu oleh penampilan lahiriah -- memandang kitab yang teronggok di atas meja itu, maka dengan segera dia akan menyimpulkan bahwa tak ada yang istimewa dari kitab itu. Namun kitab, kata orang-orang tua, berharga justru karena isinya. Benarkah? Kupandangi lagi kitab bersampul kulit warna hitam itu. Sampulnya mengelupas di sana sini, menunjukkan betapa telah cukup banyak masa yang dilewatinya. Berpindah dari satu tangan ke tangan yang lain, dari rak yang paling mewah hingga ke rak yang paling butut, dari ruangan perpustakaan yang terawat baik hingga ke kamar apek milik seorang pelamun.
Teberkatilah orang-orang yang memuliakan kitab.
Kubuka kembali kitab itu, sambil lalu, karena berjam-jam sebelumnya telah kusiksa diriku dengan menenggelamkannya di kubangan hurufnya. Tapi, hei, siapakah yang iseng menorehkan catatan acak di sudut kiri halaman awal kitab ini, dan kenapa aku baru melihatnya sekarang? Aku ingin menjadi pertapa culas. Memelihara nafsu mengintai daging. Dengan mata juling bertombak api.
Keparat! Aku memaki, entah kepada siapa. Dirimu, atau diriku? Aku terkurung di sini. Kamar apek penuh kitab. Jam dinding berdentang tujuh kali. Dari rumah tetangga. Gelap mengapung. Aku tak perlu menutup jendela. Jendela sudah tertutup sejak siang tadi. Aku telah melewatkan senja.
Malam. Seperti apa warna malam kini? Kelam seperti malam-malam yang lampau?
Aku menginginkan malam yang lain. Malam berwarna kesumba. Malam penuh genangan darah.
Aku tidak tahu apa yang tengah terjadi di luar sana. Aku tak perlu tahu. Sebab aku, sebagaimana moyangku, hanya mengenali waktu dari pergantian siang dan malam. Terang dan gelap yang silih berganti. Adakah orang yang sanggup menjelaskan kepadaku tentang hakikat waktu?
Waktu. Aku melenguh sedih. Aku merasa pertanyaan tentang waktu senantiasa berujung pada jawaban yang tak memuaskan. Selalu ada keheningan panjang setiap kali orang berpikir perihal waktu. Selalu ada kecemasan yang menguntit. Serupa bayang-bayang makhluk mengerikan.
Apakah waktu sama dengan ribuan kuda yang berderap-derap dalam kepalaku, yang melesat ke sebuah dunia yang tak pernah diziarahi siapa pun, dan hanya menyisakan kepulan debu di udara?
Barangkali waktu tak nyata, ilusi belaka, karena yang ada hanyalah aku yang melulu memusingkan kerut di dahi yang makin menumpuk dan mencemaskan mata yang berangsur-angsur tak mampu lagi membaca dari jarak jauh huruf-huruf yang diguratkan orang-orang iseng di tembok. Yang ada hanyalah diriku, yang tak kuasa berkata apa-apa setiap kali seorang kawan atau kerabat mengejek rambutku yang kian beruban.
Aku, seonggok jisim berlumur najis. Galah rapuh. Wayang sungsang. Mayat liat. Tergerus teluh waktu.
Waktu: kilasan cahaya yang tertangkap mataku namun tak dapat ditangkap oleh tanganku.
Waktu: penyihir banyak lagak yang ingin kubunuh dengan sebilah badik karatan yang selama ratusan purnama kuolesi dengan kotoran sapi.
Jisim dan waktu. Aku, makhluk sialan yang mengenakan topeng suci, menyembunyikan wajah durjana, mengumbar lenguh dan caci maki. Aku, setan yang membangun istana pasir tempat aku beristirah sembari membayangkan surga dan menampik neraka.
Tiba-tiba aku teringat celaanmu: “Kenapa kau tak bosan-bosan memikirkan waktu? Tuhan mustahil menghapus hari kiamat dari rencana besarnya hanya karena kau sibuk memikirkan waktu. Lebih baik berpikir tentang perempuan saja, atau tentang setan yang tak henti-henti menggoda kita.”
Aku pun teringat petuah orang alim di kampungmu, yang pernah kau sampaikan kepadaku. “Di dalam diri manusia terdapat palung gelap tempat setan bersemayam. Ketika amarah dan syahwat menggelegak di ubun-ubunnya, di saat itulah setan bersekutu dengan ular dan serigala. Itulah kenapa kita memerlukan kitab suci. Berkat kitab sucilah kita bisa membedakan antara pemuja setan dan penyembah Tuhan. Berkat kitab sucilah kita tak akan cemas menghadapi maut, jaring-jaring gaib yang kelak memerangkap kita saat kita tiba pada batas waktu kehidupan yang telah digariskan Tuhan.”
Sayup-sayup kudengar lengking tawa yang paling menggairahkan dari yang sudah-sudah. Kudengar ringkik kuda yang paling jahanam. Bersama riuh celoteh hantu-hantu.
HARUSKAH AKU percaya nujuman? Haruskah kuserahkan hidupku kepada butiran-butiran pil yang kutenggak setiap menjelang tidur?
Atau cukuplah aku tertawa, melupakan semua igauan murahan ini?
Ribuan kuda tak henti-henti berderap dalam kepalaku. Kuda-kuda yang mengubah diri menjadi halimun. Lenyap dalam pusaran malam yang senyap.
----------------------------------
Catatan si penyalin cerita:
* Pengakuan pengembara itu, tak syak, adalah pengakuan yang sangat menggelikan, dan wajarlah jika saya jadi curiga. Itu -- seandainya orang boleh berkata kasar -- hanyalah tiruan atas ungkapan seorang suci yang berbunyi, “Muliakanlah pohon kurma, sebab ia tercipta bersamaan dengan diciptakannya Adam.” Maka lebih baik simaklah pengakuannya yang lain, yang dituturkannya di suatu malam saat mabuk akibat menenggak minuman yang menjijikkan. “Aku lahir dari keluarga murtad. Keluarga murtad, begitulah tetangga menyebut keluargaku. Tapi sebenarnya bukan. Ibuku pendongeng yang tekun menanam kisah-kisah ganjil di kepalaku. Sedangkan ayahku juru tulis yang dituduh menyelewengkan riwayat sahih, yang dilisankan oleh keturunan seorang penghapal hadis nabi yang tepercaya, menjadi ramalan picisan seorang ahli nujum gadungan. Bagi orang-orang saleh, apa yang dituliskan ayahku itu adalah bidah, dan karena itu dia harus dihukum mati. Dia juru tulis lancung yang terpancung.”
Atau pengakuannya yang lain, yang diungkapkannya juga dalam keadaan mabuk, di malam yang lain. “Ayahku pedagang yang suka mengurangi takaran demi mendapat untung yang berlimpah, yang meminjamkan uang dengan bunga yang berkali lipat, pemakan riba yang menghamba kepada setan. Ibuku anak penggembala domba yang ketika dewasa memilih takdir selaku tukang tenun. Terpujilah mereka.”
** Setelah memeriksa kitab suci al-Quran, saya menemukan gabungan dua ayat pertama Surat al-‘Aadiyaat yang agaknya telah dijiplak oleh pengarang kitab bersampul hitam dengan ketebalan 176 halaman itu (atau dijiplak oleh teman saya yang selalu meminta saya menyalin cerita-cerita bangsatnya). Adakah waham yang telah menyesatkan saya untuk punya anggapan semacam itu? Berdosakah saya bila punya tafsiran yang bagi orang lain sungguh tak senonoh?
Aku terkesima mendengar takwil mimpi yang diocehkan lelaki yang duduk di hadapanku itu. Kakek berjenggot panjang yang memperkenalkan diri sebagai pengembara. Namun kukira, ia lebih pantas disebut juru ramal. Juru ramal yang datang dari sebuah kota di jazirah yang jauh, berkelana meramal nasib manusia lewat garis wajah, guratan-guratan acak di telapak tangan, patahan-patahan mimpi, bintang-bintang yang bertakhta di lengkung langit biru. Juru ramal yang mengaku lahir dari celah pohon beringin berjarak puluhan hasta dari runtuhan kuil di kotanya.*
Ini entah malam ke berapa setelah aku memimpikan sosok asing itu. Dan aku masih saja bersama kakek pengembara. Jubahnya meruapkan aroma lain, seperti campuran bau bunga mawar dan kemenyan. Atau sangit belerang. Matanya menerawang ke arah bukit. Sesudah itu ia mengalihkan pandangan ke pohon randu yang berdiri di pekarangan rumah; sesekali matanya memicing, sesekali menyorot tajam, seakan mengindra seleret pertanda, menyelisik sebujur nubuat. Ia terlihat gelisah. Angin bertiup lembut, menyusup ke rimbun belukar. Jutaan bintang berpendaran bagai kafilah malaikat bersayap cahaya. Dan di tengah kesunyian itu, selimbur bunyi, alunan suling atau lengking nafiri, merayap pelan, melenting dari atap rumah yang satu ke atap rumah yang lain.

Sungguh, ia begitu ringkih. Di matanya terlihat kubangan lumpur tempat segenap yang bernama membeku, semacam genangan kenangan yang menyesakkan. Peristiwa apa yang telah mengeruhkan mata tua itu? Namun bibirnya yang hitam tertimbun ampas nikotin menyunggingkan senyum bocah yang riang. Dan tangannya? Tangan kurus dengan jemari kaku, dan noda pigmen yang membercak di sana sini. Telunjuk kanannya berwarna kekuning-kuningan, mungkin bekas cairan minyak zakfaron yang sering diusapkannya ke hidung dan jubahnya. Telapak kakinya, meski selalu terbungkus kasut saban kali ia bepergian, tetap saja bersisik dan pecah-pecah. Waktu telah menorehkan banyak jejak di tubuhnya.
Angin berembus dari banyak arah. Mengantar debu dan embun. Keluh dan lenguh.
Dari arah lembah yang pekat oleh gerumbul pepohonan, lolong serigala susul-menyusul dengan raung burung hantu. Sepasukan kunang-kunang berlesatan, berkitaran, seolah mengabarkan maut yang sedang menyongsong. Kunang-kunang: serangga malam yang konon lahir dari percikan air mata peri yang bersedih, yang menyanyikan kidung pilu buat bayi-bayi yang belum terlelap.
Dan wahai, inilah kesaksianku yang menggentarkan. Di dahi sang kakek kulihat bentangan gurun, pohon tumbang, serakan tulang belulang hewan. Mendadak hujan deras meluruh cepat menghunjam butir-butir pasir, dan beberapa saat kemudian air menggenang menjelma menjadi laut, memantulkan warna jingga. (Jingga senja semesta kaum durjana?). Mungkin itulah sumber deru angin berdebu dan gemuruh ombak yang bersahutan dengan jerit serak ikan-ikan yang kerap terdengar pada malam-malam aku bersama kakek itu.
Namun ia mengaku bukan siapa-siapa. Semata-mata seorang pengembara.
Ia menatapku, mencoba meraba-raba isi kepalaku, mungkin terusik oleh semua khayalan lancangku tentang dirinya. Lalu, perlahan kudengar dia menggumamkan nama sebutir bintang, mantra sebuah kitab kuno, gerombolan macan tutul yang raib ditelan rawa-rawa gaib, hikayat tujuh ekor burung bulbul. Ia menyebut arakan kabut tipis, seekor kalajengking, bongkahan batu cadas, akar-akar yang berbelitan. Ia membilang buah larangan yang menggelantung di pohon keabadian, sepasang malaikat penjaga surga dan neraka, tanduk runcing dan taring tajam setan, unggunan rajah....
Dan waktu lambat laun mulai mengabu di rongga matanya, menyusun kisah atau semesta yang lain. Bulan sabit kuning pucat berlayar dalam hening. Bayang-bayang mengeras di atas tanah, di hamparan dinding rumah, di celah bukit, di lubang pohon, di retak batu. Angin merintih perih.
Ketika sunyi kian menekan malam dan pijar lampu minyak tanah semakin melemah ditelikung angin, ia mengeluarkan sebuah kitab dari balik jubahnya. “Ini kitab warisan guruku. Esok pagi aku akan melanjutkan perjalanan,” ucapnya.
Membaca kitab, merunut segenap peristiwa lampau, meraba isyarat masa depan, apa sebenarnya yang kudapat? Bisakah aku hidup tanpa kata, tanpa kitab? Ataukah aku beroleh wujud karena kehadiran kata? Apa sesungguhnya yang kucari. Apakah aku akan kehilangan kata saat mencari makna? Apakah aku juga akan kehilangan kata saat menemukan makna? Namun apakah dengan begitu segalanya mesti bermakna?
“Terimalah kitab ini. Dan segeralah kau mempelajarinya. Sebab empat puluh hari setelah aku pergi, kitab ini akan lenyap, dan seluruh aksaranya kelak muncul kembali sekian ribu tahun kemudian dalam bentuk rajah yang tertatah di sekujur tubuh sepasang anjing aneh bermata tiga. Di saat itulah manusia buruk rupa bernama Dajjal datang, menyalin rajah-rajah itu dan menyerukannya sebagai ayat kitab suci. Di saat itulah seorang nabi yang lolos dari tiang salib dikirimkan kembali ke dunia.”
Aku tak bersuara. Hanya mengangguk-anggukkan kepala.
“Telah kulihat apa-apa yang tak dipahami orang lain. Sudah kurenungkan segala yang ditampik orang lain. Silakan menyangkalku. Tapi percayalah, di alam berikutnya kau akan bangkit dari kematian panjangmu hanya untuk mencariku, bersaksi atas kebenaran nubuatku.” Ia kembali berujar, mencoba meyakinkan diriku.
Aku tak tahu adakah ucapannya itu mengandung dusta. Namun apakah dusta itu, dan apakah yang bukan dusta? Bukankah kata-kata, bahkan yang tampak lugas sekalipun, senantiasa menyimpan makna yang kabur? Pada kelugasan sebuah kalimat, pada keluwesan suatu cerita, mendekam teka-teki yang barangkali hanya disadari oleh hewan dan makhluk jadi-jadian yang disusupi roh orang mati yang tak mendapat tempat di alam barzakh.
2.
Tak ada yang sesuatu yang pantas dikenang dari kota ini. Tak ada yang tersisa dari kota ini, selain pedang karatan, patahan tombak, pelana kuda, bangkai anjing dan lembu.
Runtuhan rumah-rumah. Belanga-belanga retak. Pohon-pohon tumbang. Tebaran dedaunan. Gundukan sampah. Puing-puing kuil. Altar gosong. Sulur pohon beringin. Serakan kantong-kantong air. Sumur angker. Sungai kering.
Orang-orang sudah lama mengungsi. Menyisakan kisah dan keluh. Jejak-jejak kaki kuda. Tilas kafilah. Gerusan terompah. Tenda-tenda dari bulu domba. Botol dan piring. Pisau dan kitab.
Pekat. Kelimun debu.
Tumpukan batu di tanah lapang, semacam benteng permainan anak-anak. Agak ke timur sebuah patung tegak berdiri dengan leher terjerat tali. Di celah tangan kirinya yang retak terselip lembaran kertas berisi bait syair. Dan seorang anak telah usil menuliskan namanya di situ.
Lihat, tak ada unggun api di malam hari. Tak ada dengus serangga. Melulu ceceran darah kering. Bangku-bangku lapuk. Juga pecahan cermin.
Di pelataran langit gerombolan gagak terus menari. Melimbur padam sinar bulan. Raung burung hantu membekap erang malam. Menikam lembah.
Ah, kota tua, tempat tuhan menjadi sekadar dongeng cengeng. Tempat nabi dikenang semata sebagai perapal mantra dan pewedar kisah-kisah tentang ihwal gaib yang tak masuk akal. Tempat wali hanyalah penggembala kurcaci yang beringas menggali kubur sendiri.
Maka, siapa gerangan yang sudi menukil firman ketika hujan bukan lagi isyarat kudus, sedangkan rawa-rawa hanyalah lambang kelam. Surga yang gagal diwujudkan di atas bumi.
Bertahun-tahun kemudian. Seorang zindik dari antah-berantah dengan tongkat yang bisa menjelma menjadi ular, ditemani seekor anjing kudisan, menambatkan perahu di barat pantai, lantas menyusuri jalan ke utara, sampai tiba di halaman bekas kuil. Dan di sana ia memancang kemah. Lalu ia mulai menyusun peta dan riwayat baru. Menitahkan amar.
Sejak itu, orang-orang berdatangan membangun kota Iblis.
Ratusan minggu berlalu. Aku lahir. Dari rahim perempuan anak penggembala domba yang ketika dewasa memilih takdir sebagai tukang tenun. Saat itu kotaku sangat ramai, telah menjadi kota niaga, tempat para pedagang dari pelbagai kota dan pulau menjajakan dan bertukar barang dagangan, bahkan ada yang datang dari seberang benua. Tempat para penyair terbaik di jazirah bertanding membacakan syair-syair mereka, dan anak-anak penggembala menelantarkan domba mereka dan lebih memilih menjadi pengamen atau pemandu jalan. Para pesulap datang silih berganti, memperagakan tipuan-tipuan dari yang paling halus hingga yang paling kasar.
Dan ketika aku berusia seperempat abad, lelaki tua zindik, yang membangun kembali kota kami dan menjadi guru bagi siapa saja yang ingin menyibak rahasia langit dan semesta, mewariskan kepadaku kitab yang aksaranya hanya dapat dimengerti oleh orang yang sudi menghabiskan malam-malamnya dengan mendaraskan wirid-wirid yang terdengar janggal di telinga penduduk kotaku. Dua puluh satu purnama berlalu sejak aku menerima kitab sang guru, dan tibalah saatnya bagiku untuk pergi, berkelana ke tempat-tempat jauh dan selamanya tak akan pernah lagi menginjak kotaku. Aku telah bersumpah untuk mati di tanah rantau, mungkin di satu negeri di mana aku sendiri bahkan tak lagi mengetahui namaku.
Aku pergi, meninggalkan seluruh masa lalu yang dihidupi kenangan yang sungguh janggal. Guruku, lelaki tua zindik itu, dibunuh oleh murid-muridnya sendiri. Patungnya yang megah, yang dibangun di bundaran jalan raya kotaku, dirobohkan oleh para warga yang sebelumnya sangat memujanya, yang semula menganggapnya tuhan. Dan tahukah kau siapa yang menghasut orang-orang untuk membunuh guruku? Dialah ayahku, saudagar pemakan riba.
Aku, murid setia si lelaki zindik, akhirnya memilih hengkang. Memilih berpisah dengan orang tuaku sendiri.
Maka aku berjalan, menelusuri jalan-jalan sunyi yang hanya dilewati kawanan penyamun. Mengarungi samudra. Menyeberangi sungai dan gurun. Melintasi gunung dan lembah. Membaca dan merenungkan kejadian-kejadian.
Jalan-jalan berdebu. Jalan-jalan berembun. Jalan-jalan berlumpur. Jalan-jalan melurus. Jalan-jalan menikung. Jalan-jalan mendaki. Jalan-jalan menurun. Rambutku perlahan-lahan mulai beruban, kulitku mulai berkeriput.
Aku mengingat masa silam dengan ingatan yang kelam, sekelam mata dan kulitku. Tapi tak ada yang perlu disesali. Tak ada yang perlu ditangisi. Diriku kini adalah gerbang rupa yang mengabaikan ruang, yang mati rasa, karena waktu telah menjadikannya onggokan mayat yang kesepian.
3.
Aku berjalan, dan tiba di persimpangan pertama sebuah desa ketika sepasang anjing mengaing sekarat. Kemarau mulai menyusun malam dari debu yang dihentakkan kaki kuda. Remuk sinar matahari menyerpih, menyusup ke dalam pori-pori tanah dan batu-batu dan pohon-pohon, lalu kelak bangkit kembali dalam wujud sejuta kupu-kupu.
Aku berjalan. Sepasang anjing, terdengar sayup-sayup, masih mengaing sekarat. Tak mati-mati. Ada arwah yang gemar bergentayangan menguntitku.
Lihat, bulan menyinari bekas gelimpangan jisim kaum pertapa.
Patahan ranting dan lolong pedih serigala lamat-lamat merangkai sebercak isyarat, memandu aku untuk lekas mencapai runtuhan kuil, berpuluh-puluh hasta dari tebing jurang. Di sana aku harus tiupkan ruh ke mulut patung-patung retak yang ribuan musim setia mengulum rajah angin.
Ketika aku tiba di persimpangan berikutnya, hujan adalah kawanan anjing yang mengejek maut. Saat itu kuabaikan arah mata angin. Sebab semuanya hanya isyarat iseng para kurcaci. Aku lebih memilih menyimak kisah yang luput dituliskan tuhan dalam kitab suci. Lalu aku akan menari. Bersama patung dan anjing.
4.
Selintang gemintang di ufuk selatan langit. Tubir sunyi tak berhingga. Bunyi gugur daun berdetak samar. Hamparan rumput basah. Ricik air sungai.
Jejak binatang berakhir di gua gelap.
Bongkahan batu cadas terbelah. Sekerumun patung berbalut lumut. Kunang-kunang menyemburkan bara api.
Malam menggerowong.
Angin basah. Bau hangus. Kubur-kubur terbongkar, diacak-acak entah oleh apa dan siapa.
Belatung membangun rumah di lipatan kulitku. Seekor kadal, tersapu sinar bulan, menyeberangi jalan setapak yang membujur di hadapanku. Kutangkap dia, dan kulihat lidahnya buntung. Tubuhnya penuh goresan duri. Kulepas dia, dan dia menggelepar-gelepar.
Seekor lelawa meliuk-liuk.
Pada dini hari, tercium bau tanah yang tak tersentuh cahaya. Udara mengapungkan geram matahari. Ada sisa tulang belulang anjing di dekat sebatang pohon yang kulitnya mengelupas dan terbakar, membentuk sebuah geometri aneh.
5.
Pada tahun ke sekian dari waktu pengembaraanku yang panjang, aku tiba di sebuah negeri di jazirah hijau yang entah kenapa mengingatkan aku pada kotaku. (Mungkinkah negeri ini adalah kotaku saat aku dibangkitkan kembali dari kematian?).
Di rumah kecil di lereng lembah.
Berhari-hari aku mengurung diri di dalam kamar. Mengingat apa-apa yang perlu diingat. Melupakan apa-apa yang perlu dilupakan.

Suatu malam, di tengah liuk lemah nyala lentera dan bentangan kain putih, kulihat tubuhku memantulkan bayangan makhluk raksasa bertanduk yang gagah melaknat silsilah. Mengutuk kisah penciptaan. Satu suara tiba-tiba menghardik, “Kau, makhluk durhaka, yang abai pada asal-usul!”
Engkaukah yang meletupkan titah itu? Engkaukah yang menjatuhkan kutuk itu? Puih, kuludahi engkau. Dan aku akan terus meludah. Dan lihatlah, laut tercipta dari air liurku. Aku pun menjadi lanun yang gemar mengulum nujum, mendedah mantra, membajak rasi bintang ciptaanmu agar bahtera nabi pesuruhmu tersesat menjauh dari daratan.
Aku memang seorang pengembara yang murtad. Maka, kuempaskan napasku. Puting beliung yang meluluhlantakkan kuilmu. Kuruntuhkan kuilmu. Dan di atas runtuhan kuilmu itu kubangun kuilku. Aku ingin semua orang melupakanmu. Aku ingin semua orang hanya menyembahku.
Tapi ke mana harimau kumbang bertaring yang lahir dari igau gaibku itu? Adakah engkau menyekapnya di labirin yang dibangun malaikat pengikutmu?
Aku bersumpah, akan kutiupkan api membakar langitmu. Akan kukirimkan rayap mengerat kitabmu.
Kitab dan Teluh Waktu
1.
Kau menemukan dia duduk sambil memejamkan mata, tegak, lazimnya rahib Zen yang sedang bermeditasi. (Ataukah dia memang tengah bermeditasi? Sebab bintang di langit begitu bersinar. Saban kali seseorang bermeditasi maka di saat itu pula sebutir bintang memekarkan terang cahaya.). Tubuh kisutnya menjulang laksana sebilah galah tipis menuding langit. Jemari kedua tangannya saling bertautan, menyatukan anasir tubuh sisi kanan dengan tubuh sisi kiri, yin-yang semesta. Di tembok, bayang-bayangnya terpahat samar. Bayang-bayang yang tercipta dari cahaya remang lilin. Bayang-bayang di ambang sekarat. Sejenak kau menatapnya, memastikan bahwa dia tak menyadari kehadiranmu. Ia terus memejamkan mata, menjadikan kegelapan rumah keabadian yang sejati.
Kau ingat, ia, sewaktu kau usil bertanya, pernah mengatakan bahwa di saat bermeditasi dia seperti mendengar keloneng lonceng menyayat telinganya. Ia betul-betul tersiksa, namun justru karena itu ia merasa tabir perlahan mulai tersingkap. Tabir apa, tanyamu. Tabir yang memisahkan dirimu dari Sang Penguasa Waktu, sahutnya. Meditasi membuat dia merasa bergerak bersama benda-benda angkasa raya dalam jalinan gaib yang tak terbahasakan. Saat itu kau cuma tertawa, menganggap omongannya lelucon.
Namun kau lantas terusik. Aku ingin tahu, apa yang terlihat olehmu, kau bertanya lagi. Ia tak menjawab. Maka, kau pun mencoba menebak-nebak apa yang dilihatnya sewaktu bermeditasi. Boleh jadi ia melihat gerombolan kera bertengger dan bergelantungan di dahan-dahan pohon. Boleh jadi ia melihat kisaran air laut memuntahkan puing-puing kapal karam ke daratan, lalu dari dalam kisaran itu muncul lelaki berjubah dan besorban hijau, dengan pelangi setengah lingkaran yang kedua ujungnya menyentuh permukaan laut sebagai latarnya. Sosok agung itu menunggangi ikan sejenis lumba-lumba melesat di atas air.
Buat apa aku memikirkannya, kau membatin dengan segumpal rasa jengkel. Kemudian, kau melangkah hati-hati ke sudut timur kamar. Di sana teronggok dua bilah kelewang yang di ujungnya terukir gambar seekor naga melilit matahari, boneka-boneka kayu tanpa kepala, bendera-bendera putih yang pinggir-pinggirnya dibaluri rajutan benang biru, batang-batang semambu, cambuk kuning, mata lembing, wadah dupa, genta-genta rumpang, gendang-gendang usang, ladam-ladam kuda, trisula, biji-biji kerang, pecahan-pecahan batu meteor, empat kotak kecil berbentuk kubus berisi gulungan-gulungan kertas jimat, sanggurdi, dan pelana. Tetapi yang lebih membetot perhatianmu adalah sebuah kitab bersampul kulit warna hitam. Kau membawa kitab itu ke ruang tamu, menaruhnya di atas meja. Lantas kau beranjak ke dapur, dan kembali ke ruang tamu sembari membawa secangkir teh panas, yang uapnya membentuk liukan asap yang getas, begitu mudah diempas angin. Alih-alih langsung membaca kitab, kau malah mengintip sejenak keluar dengan menyibak kain jendela.
Di luar, bulan mengerucut sedih, terhalang gumpalan awan. Di ufuk selatan, bintang pari berwujud salib memancar benderang.
Didorong rasa ingin tahu yang mahahebat, kau membuka lembar demi lembar kitab berukuran 16 x 24 sentimeter itu. 176 halaman. Di halaman awal kau baca pengakuan muram dari sang penulis: “Aku pendongeng yang datang dari sebuah kota yang dilaknat Tuhan, dan karena itu aku tak pernah berharap dimuliakan orang.” Selanjutnya: “Demi masa yang selalu luput dari cengkeraman para makhluk. Demi matahari dan bintang-bintang yang penciptaan mereka mendahului penciptaan manusia. Demi hewan-hewan yang tiap derap kaki dan kibasan ekor mereka menebar pertanda, maafkan aku. Di dunia ini, di mana segala yang kotor membaur dengan apa yang dianggap suci, aku cuma bisa bercerita, memberi kalian dongeng yang tak akan pernah kalian dengar dari orang lain, yang barangkali nanti hanya dapat kalian simak dari mulut burung-burung.”
Di halaman-halaman berikutnya terurai banyak cerita, di antaranya tentang lelaki yang bisa berubah menjadi binatang bila merapal mantra-mantra khusus, serta perempuan-perempuan bersisik yang di siang hari berjalan-jalan ditemani kucing dan anjing yang kaki kanan depan mereka pengkor, dan di malam hari mereka membungkus tubuh mereka dengan seprai merah, menyembunyikan kulit ular mereka, membawakan tarian yang awalnya lembut namun perlahan-lahan berubah menjadi liar seraya menggonggong dan mengeong. Juga tentang perempuan cenayang yang suka berkeliaran di malam hari dan mengeluarkan suara pok-pok, terbang dalam keadaan telanjang dengan rambut panjang terurai sebelum akhirnya nangkring di atap rumah, mencari kesempatan merogoh jantung bayi lewat duburnya untuk kemudian memakannya.
Di halaman akhir kau temukan coretan-coretan huruf yang sulit dibaca, juga gambar-gambar yang mirip dengan apa yang pernah kau lihat di sebuah ensiklopedia arkeologi. Mungkinkah itu sandi-sandi? Mungkinkah itu rajah sebagaimana yang tertera dalam kitab kuning milik ayahmu?
Kau tidak tahu. Namun mursyid tarekat, yang kau jumpai ratusan pekan yang lampau di kampung jiran saat kau berada dalam perjalanan pulang ke rumah, berkata bahwa kelak kau akan menemukan satu ramalan pada kitab milik seorang pengembara tua.
Apakah kitab itu yang dimaksudkan oleh sang mursyid?
Tiba-tiba secuil hasrat ganjil muncul dalam dirimu. Hasrat untuk membayangkan kemungkinan bahwa kitab itu dikarang oleh sekelompok penghujat, kaum bidah yang lolos dari hukum pancung khalifah, sekian abad silam. Kitab yang mengolok-olok kebesaran Tuhan, memuat doa dan rajah bikinan setan. Penuh cercaan dan bualan nista.
Kau mencermati rangkaian kata dan jejeran gambar yang seolah lahir dari erang malaikat itu (bukan, namun lahir dari dengus Iblis). Di baris tengah yang mengantarai jkerumunan alinea dan bentangan gambar, termaktub kalimat “Kura-kura hura-hura. Kura-kura pura-pura. Hulapa hulawa duwiwi tilala. Demi kura-kura yang berlari kencang, yang memercikkan api di batu-batu!”
Demi kura-kura yang berlari kencang, yang memercikkan api di batu-batu. Sepotong ungkapan -- seleret mantra? selarik madah? -- yang samar-samar mengingatkanmu pada wahyu Tuhan. Demi kuda-kuda yang berlari kencang, yang mencetuskan api dengan rentakan kuku kaki mereka.**
2.
Kututup kitab. Aku tidak tahu pasti perasaan macam apa yang telah menghasutku untuk menghentikan bacaan. Mungkin rasa jenuh, mungkin rasa tenteram. Atau boleh jadi sebersit keraguan yang biasa dialami para filsuf. Tapi celakalah aku jika sampai menganggap diriku filsuf.
Aku berani bersumpah, apabila orang -- yang terpesona melulu oleh penampilan lahiriah -- memandang kitab yang teronggok di atas meja itu, maka dengan segera dia akan menyimpulkan bahwa tak ada yang istimewa dari kitab itu. Namun kitab, kata orang-orang tua, berharga justru karena isinya. Benarkah? Kupandangi lagi kitab bersampul kulit warna hitam itu. Sampulnya mengelupas di sana sini, menunjukkan betapa telah cukup banyak masa yang dilewatinya. Berpindah dari satu tangan ke tangan yang lain, dari rak yang paling mewah hingga ke rak yang paling butut, dari ruangan perpustakaan yang terawat baik hingga ke kamar apek milik seorang pelamun.
Teberkatilah orang-orang yang memuliakan kitab.
Kubuka kembali kitab itu, sambil lalu, karena berjam-jam sebelumnya telah kusiksa diriku dengan menenggelamkannya di kubangan hurufnya. Tapi, hei, siapakah yang iseng menorehkan catatan acak di sudut kiri halaman awal kitab ini, dan kenapa aku baru melihatnya sekarang? Aku ingin menjadi pertapa culas. Memelihara nafsu mengintai daging. Dengan mata juling bertombak api.
Keparat! Aku memaki, entah kepada siapa. Dirimu, atau diriku? Aku terkurung di sini. Kamar apek penuh kitab. Jam dinding berdentang tujuh kali. Dari rumah tetangga. Gelap mengapung. Aku tak perlu menutup jendela. Jendela sudah tertutup sejak siang tadi. Aku telah melewatkan senja.
Malam. Seperti apa warna malam kini? Kelam seperti malam-malam yang lampau?
Aku menginginkan malam yang lain. Malam berwarna kesumba. Malam penuh genangan darah.
Aku tidak tahu apa yang tengah terjadi di luar sana. Aku tak perlu tahu. Sebab aku, sebagaimana moyangku, hanya mengenali waktu dari pergantian siang dan malam. Terang dan gelap yang silih berganti. Adakah orang yang sanggup menjelaskan kepadaku tentang hakikat waktu?
Waktu. Aku melenguh sedih. Aku merasa pertanyaan tentang waktu senantiasa berujung pada jawaban yang tak memuaskan. Selalu ada keheningan panjang setiap kali orang berpikir perihal waktu. Selalu ada kecemasan yang menguntit. Serupa bayang-bayang makhluk mengerikan.
Apakah waktu sama dengan ribuan kuda yang berderap-derap dalam kepalaku, yang melesat ke sebuah dunia yang tak pernah diziarahi siapa pun, dan hanya menyisakan kepulan debu di udara?
Barangkali waktu tak nyata, ilusi belaka, karena yang ada hanyalah aku yang melulu memusingkan kerut di dahi yang makin menumpuk dan mencemaskan mata yang berangsur-angsur tak mampu lagi membaca dari jarak jauh huruf-huruf yang diguratkan orang-orang iseng di tembok. Yang ada hanyalah diriku, yang tak kuasa berkata apa-apa setiap kali seorang kawan atau kerabat mengejek rambutku yang kian beruban.
Aku, seonggok jisim berlumur najis. Galah rapuh. Wayang sungsang. Mayat liat. Tergerus teluh waktu.
Waktu: kilasan cahaya yang tertangkap mataku namun tak dapat ditangkap oleh tanganku.
Waktu: penyihir banyak lagak yang ingin kubunuh dengan sebilah badik karatan yang selama ratusan purnama kuolesi dengan kotoran sapi.
Jisim dan waktu. Aku, makhluk sialan yang mengenakan topeng suci, menyembunyikan wajah durjana, mengumbar lenguh dan caci maki. Aku, setan yang membangun istana pasir tempat aku beristirah sembari membayangkan surga dan menampik neraka.
Tiba-tiba aku teringat celaanmu: “Kenapa kau tak bosan-bosan memikirkan waktu? Tuhan mustahil menghapus hari kiamat dari rencana besarnya hanya karena kau sibuk memikirkan waktu. Lebih baik berpikir tentang perempuan saja, atau tentang setan yang tak henti-henti menggoda kita.”
Aku pun teringat petuah orang alim di kampungmu, yang pernah kau sampaikan kepadaku. “Di dalam diri manusia terdapat palung gelap tempat setan bersemayam. Ketika amarah dan syahwat menggelegak di ubun-ubunnya, di saat itulah setan bersekutu dengan ular dan serigala. Itulah kenapa kita memerlukan kitab suci. Berkat kitab sucilah kita bisa membedakan antara pemuja setan dan penyembah Tuhan. Berkat kitab sucilah kita tak akan cemas menghadapi maut, jaring-jaring gaib yang kelak memerangkap kita saat kita tiba pada batas waktu kehidupan yang telah digariskan Tuhan.”
Sayup-sayup kudengar lengking tawa yang paling menggairahkan dari yang sudah-sudah. Kudengar ringkik kuda yang paling jahanam. Bersama riuh celoteh hantu-hantu.
☼☼☼
HARUSKAH AKU percaya nujuman? Haruskah kuserahkan hidupku kepada butiran-butiran pil yang kutenggak setiap menjelang tidur?
Atau cukuplah aku tertawa, melupakan semua igauan murahan ini?
Ribuan kuda tak henti-henti berderap dalam kepalaku. Kuda-kuda yang mengubah diri menjadi halimun. Lenyap dalam pusaran malam yang senyap.
----------------------------------
Catatan si penyalin cerita:
* Pengakuan pengembara itu, tak syak, adalah pengakuan yang sangat menggelikan, dan wajarlah jika saya jadi curiga. Itu -- seandainya orang boleh berkata kasar -- hanyalah tiruan atas ungkapan seorang suci yang berbunyi, “Muliakanlah pohon kurma, sebab ia tercipta bersamaan dengan diciptakannya Adam.” Maka lebih baik simaklah pengakuannya yang lain, yang dituturkannya di suatu malam saat mabuk akibat menenggak minuman yang menjijikkan. “Aku lahir dari keluarga murtad. Keluarga murtad, begitulah tetangga menyebut keluargaku. Tapi sebenarnya bukan. Ibuku pendongeng yang tekun menanam kisah-kisah ganjil di kepalaku. Sedangkan ayahku juru tulis yang dituduh menyelewengkan riwayat sahih, yang dilisankan oleh keturunan seorang penghapal hadis nabi yang tepercaya, menjadi ramalan picisan seorang ahli nujum gadungan. Bagi orang-orang saleh, apa yang dituliskan ayahku itu adalah bidah, dan karena itu dia harus dihukum mati. Dia juru tulis lancung yang terpancung.”
Atau pengakuannya yang lain, yang diungkapkannya juga dalam keadaan mabuk, di malam yang lain. “Ayahku pedagang yang suka mengurangi takaran demi mendapat untung yang berlimpah, yang meminjamkan uang dengan bunga yang berkali lipat, pemakan riba yang menghamba kepada setan. Ibuku anak penggembala domba yang ketika dewasa memilih takdir selaku tukang tenun. Terpujilah mereka.”
** Setelah memeriksa kitab suci al-Quran, saya menemukan gabungan dua ayat pertama Surat al-‘Aadiyaat yang agaknya telah dijiplak oleh pengarang kitab bersampul hitam dengan ketebalan 176 halaman itu (atau dijiplak oleh teman saya yang selalu meminta saya menyalin cerita-cerita bangsatnya). Adakah waham yang telah menyesatkan saya untuk punya anggapan semacam itu? Berdosakah saya bila punya tafsiran yang bagi orang lain sungguh tak senonoh?
0 komentar:
Posting Komentar