Kitab dan Cermin
CERMIN besar itu tergantung di dinding sebelah selatan ruang tamu. Dua bilah kayu hitam mengerucut di atasnya. Dengan letak dan ukuran semacam itu, cermin tersebut serupa pintu gerbang yang setiap saat siap mengantarkan orang ke dunia asing para roh jahat. Saya tengah menatap cermin itu, menebak-nebak jutaan paras manusia yang telah ditelannya, ketika teman saya, sang pemilik rumah, datang membawa tiga kitab kuno beraksara Arab. “Cermin selalu mengingatkan aku pada wajah hantu,” saya menggumam. Ia tidak menghiraukan gumaman saya. Ia berkata seraya menyodorkan tiga kitab yang dipegangnya, “Ini kitab-kitab yang kaucari itu.”
Saya pulang dengan membawa kitab-kitab itu. Sepanjang perjalanan saya mendesis berkali-kali. Apakah mungkin setiap kitab menyimpan cermin di dalamnya? Apakah aksara setiap kitab bisa menjelma menjadi cermin?
Seminggu kemudian saya berkunjung ke perpustakaan, sebuah bangunan luas berbentuk huruf L, berlantai tiga dengan undakan-undakan tangga yang melingkar tempat puluhan ribu kitab menghuni ratusan rak. Di sini ruang (yang ditandai oleh panjang sekian meter kali lebar sekian meter) begitu terhingga, sebaliknya waktu tidak terhingga (tak ada yang sanggup menaksir rangkaian waktu yang dicakup oleh puluhan ribu kitab itu, oleh kelenturan tafsir dan samudra makna yang ditimbulkannya).
Gerimis menderai sewaktu saya mulai membaca kitab Al-Atsarul Baqiyah ‘anil Qurunil Khaliyah (Peninggalan dari Zaman Kuno) karya Ibnu Naufal.
Mula-mula saya cukup menikmati kitab itu. Namun, lama-kelamaan saya jadi sangsi, karena teks kitab itu tidak sama dengan yang saya baca sebelumnya. Selain itu, tampilan fisik kitab itu jauh lebih indah; huruf sampulnya bersepuh tinta warna emas. Maka, saya pun beranjak menuju rak sebelah barat yang berada persis di ujung ruangan.
Dan inilah yang membuat saya bingung sekaligus takjub: rupanya ada kitab lain yang berjudul sama namun dengan nama penulis yang berbeda. Al-Atsarul Baqiyah ‘anil Qurunil Khaliyah yang satu ini adalah karya al-Biruni (nama lengkapnya Abu al-Rayhan Muhammad ibnu Ahmad al-Biruni). Ia dilahirkan di Khawarizmi, Asia Tengah, 4 September 973 Masehi atau 3 Zulhijjah 362 Hijriah. Pada kitabnya itu ia membahas tentang upacara-upacara ritual, pesta dan festival bangsa kuno.
Saya jelajahi rak bagian ensiklopedia. Dalam The Encyclopaedia of Islamic Philosophy, yang terdiri dari tiga jilid suntingan Abdul Karim ibnu Haikal yang diterbitkan penerbit British Limited edisi pertama tahun 1996, di bagian indeks, nama al-Biruni tercantum di halaman 127 sampai 142. Pada halaman 131 tertulis: “Adalah Edward C. Sachau yang berjasa memperkenalkan al-Biruni ke khalayak Barat. Ia menerjemahkan kitab Al-Atsarul Baqiyah ‘anil Qurunil Khaliyah ke dalam bahasa Inggris dan Jerman, masing-masing pada tahun 1878 dan 1879.” Dalam edisi revisi An Introduction to Islamic Cosmological Doctrines terbitan Thames and Hudson tahun 1978, Seyyed Hossein Nasr bahkan mengulas al-Biruni dalam satu bab khusus. (Supaya lebih leluasa menyimak misteri tersebut, saya meminjam kitab al-Biruni itu -- termasuk ensiklopedia suntingan cendekiawan Irak, Abdul Karim ibnu Haikal -- untuk saya bandingkan dengan kitab Ibnu Naufal. Setibanya di rumah, berulang-ulang saya membolak-balik halaman indeks ensiklopedia namun saya tetap tidak menemukan nama Ibnu Naufal).
Lantas, siapakah sebenarnya Ibnu Naufal? Dalam kitabnya hanya sedikit keterangan yang bisa diperoleh mengenai riwayat hidupnya. Ia lahir di Iskandariah, Mesir, pada pertengahan abad ke-8 Hijriah atau abad ke-14 Masehi, sekitar tahun 729 H/1330 M, dengan nama Abu Hasan ibnu Naufal al-Qusayri al-Iskandari. Pada kata pengantar yang dibuncahi untaian kalimat indah dan jelujuran metafora yang membius, ia, seakan ingin menyembunyikan jati dirinya, meratap sedih dengan mengutip sepenggal puisi dari rubaiyat Omar Khayyam, seorang penyair, filsuf dan ahli aljabar yang hidup di abad ke-12 Masehi. “… Sejak aku tiba di lembah air mata ini, bahkan tak kuasa kukatakan siapa diriku.”
Jika karya al-Biruni dibuka dengan puji-pujian kepada Tuhan, maka karya Ibnu Naufal tidak. Di halaman pertamanya ia menuliskan sebuah kalimat ganjil: “Akan kutunjukkan kepadamu kefanaan semesta lewat geliat huruf-huruf. Maimata, maimata. Demi kura-kura yang berlari kencang, abadilah jiwa manusia yang membaca kitab ini.”
Berbeda dengan karangan al-Biruni, kitab Ibnu Naufal di setiap pinggir halamannya dilampiri catatan-catatan yang sekilas tampak tidak berhubungan dengan isi kitab. Dalam bab “Tiga Dongeng dalam Kitab Suci” misalnya, terutama pada kisah kedua, “Geometri”, ia mencantumkan pendapat beberapa ahli geometri, seperti Ptolemeus dan Euclides. Ia mengutip Leucippus yang hidup pada tahun 490 Sebelum Masehi, ungkapan terkenal Plato (“Tuhan selalu sibuk dengan geometri”), dan dalil-dalil Zeno dari Elea yang khusus membicarakan perihal paradoks ruang dan gerak benda. Ia bahkan menukil Ibnu al-Haitham, yang bernama lengkap Abu Ali al-Hasan ibnu al-Haitham al-Basri al-Misri, yang di Barat lebih dikenal dengan nama Alhazen atau Avennathan itu. Dan, entah kenapa, yang dikutipnya justru adalah pendapat Ibnu al-Haitham tentang ilmu optik, yang terpapar dalam Kitab al-Manazir (Kitab Optik) -- “Bayangan sebuah benda yang tertatah pada cermin datar muncul di belakang permukaan cermin pada suatu jarak yang sederajat dengan apa yang ada di antara benda dan cermin tersebut, dan karena itu hanya ada satu bayangan bagi satu titik.”
Sedangkan di halaman-halaman yang lain, Ibnu Naufal memuji-muji Jabir ibnu Hayyan al-Kufi, al-Khawarizmi dan al-Razi. Juga al-Hallaj, Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, dan Ibnu Athaillah, sang sufi pemimpin ketiga tarekat Syadziliyah.
Kegetolan Ibnu Naufal menyusupkan catatan-catatan pinggir itu, dalam pandangan saya, bukan untuk meneguhkan kesahihan teksnya, melainkan justru untuk menciptakan celah di mana pembaca yang lihai akan mampu mengungkap kelemahan teksnya. Secara keseluruhan lembaran kitabnya berjumlah 222 halaman. Saya tidak tahu adakah makna di balik angka 2 yang berjejer tiga itu. Tetapi jika 2 dikalikan dengan 3 maka hasilnya adalah 6. Dan, konon, angka 6 (bulan ke-6, hari ke-6, jam ke-6, menit ke-6, detik ke-6) adalah angka keramat di mana Iblis biasa menitis ke dalam wujud manusia, gentayangan di muka bumi. Dan boleh jadi, jumlah halaman, deretan huruf-huruf yang tak menyuratkan satu pengertian tertentu, uraian tentang aljabar (saya ingatkan, Ibnu Naufal juga mengutip kata-kata Pythagoras, “Setiap benda adalah angka-angka”), dan unggunan rajah yang banyak menghiasi lembaran kitabnya, merupakan perlambang yang menunjuk semesta, atau sosok, adikodrati. Sejenis kriptografi setengah-kudus milik kaum bidah.
Kitab Ibnu Naufal, yang terdiri dari sebelas bab, diawali dengan “Adam, Buah Khuldi, dan Ular Hitam” dan diakhiri dengan “Nubuat Kedatangan Dajjal”. Kitabnya itu sekilas tampak menggelontorkan sejumlah hujatan terhadap Tuhan. Meski demikian, boleh dibilang ia sangat mempertimbangkan keindahan bahasa. Itulah sebabnya saya curiga bahwa ia hanyalah penyair yang sengaja menyusun sebuah kitab, yang lalu secara sembrono dibayangkannya sebagai kitab suci kendati dengan mutu sastra yang kalah jauh dibandingkan kitab suci yang menghimpun kalam Tuhan.
Ibnu Naufal, apakah nama itu hanyalah nama samaran dari sufi yang menyaru sebagai zindik? Ataukah sekadar nama yang sengaja dipilih oleh seorang pemikir yang tak ingin dikenal, pemimpi gila yang telah mengorbankan jiwanya demi bersekongkol dengan Iblis? Apakah ia penghujat yang takut ditakfirkan dan dihukum pancung?
Pada edisi kedua bertarikh 1981 terbitan Al-Qishash al-Muta’akhirah, yang dikirimkan sepupu saya yang kuliah di Mesir (edisi pertama, 1976, terbitan Ghazwul Fikr, dengan mutu cetakan yang buruk), di alinea terakhir halaman kelima, tertoreh kalimat baru yang membuat saya ragu apakah itu benar-benar tulisan Ibnu Naufal ataukah hanya tambahan dari penyunting. Kalimat itu merupakan penjelasan bahwa ihwal utama yang hendak diungkai Ibnu Naufal di antaranya adalah persoalan “Di mana Tuhan sebelum penciptaan jagat raya?”.
Untuk melengkapi gambaran isi kitab Ibnu Naufal, saya nukilkan petilan cerita “Hikayat Tuhan”, yang mungkin diniatkan sebagai jiplakan yang tak senonoh atas satu kisah yang termaktub dalam kitab suci. (Di sisi lain, kisah ini mengingatkan saya pada karya-karya Fariduddin Attar. Tapi bukankah, seperti kata seorang penyair dari jazirah utara, seluruh kitab adalah bab-bab dari sebuah Kitab Agung?).
¬
Setiap kali memandang bayangannya yang dibiaskan sepuhan lembut sinar matahari, cahaya garang bulan, ia dicekam pertanyaan purba dari kisah penciptaan: mungkinkah bayangan itu memisah dari sang tuan; mungkinkah bayangan itu, dengan ikhtiar yang tak satu pun makhluk berani mengkhayalkannya, memperoleh nyawanya sendiri. Ia mafhum, bayangan itu hadir hanya berbarengan dengan merekahnya matahari dari cakrawala sana, dengan bangkitnya bulan dari ufuk sini. Dan tatkala matahari dan bulan lenyap, tak ada hiruk-pikuk lain yang sanggup menghidupkannya.
Bertahun-tahun ia mencari jawab tentang siapakah sebenarnya yang berkuasa atas penciptaan bayangan. Matahari dan bulan, yang mengekalkan persekongkolan rahasia terang dan gelap bumi? Ataukah dirinya sendiri?
Pernah ia menemukan seberkas pantulan samar pengetahuan dari lembar-lembar tua daun lontar yang diwariskan leluhurnya, bahwa ada satu zat yang merengkuh hal-ihwal di alam semesta ini. Satu zat dengan sebercak nama yang ganjil: tuhan. Dalam kesepian-kesepian harinya, dalam igauan-igauan melelahkan mimpinya, yang takwilnya ia guratkan lewat aksara-aksara acak di retakan dinding kamar yang lampus, atau ia jelmakan menjadi kelimunan rajah yang membiluri tubuhnya, terbersit sejenis hasrat kekanak-kanakan untuk bertemu tuhan yang diwartakan leluhurnya itu. Mula-mula ia mencari tuhan di rimbun dedaunan, di liang sempit semut-semut hitam, pada jerit tangis bayi, pada langkah khusyuk kura-kura, pada lenguh lirih kafilah unta, pada bunyi gemeretak pohon tumbang, pada jaring rapuh laba-laba, pada kepak-kepak ritmis sayap burung, pada dengus kasar persetubuhan sepasang serigala, pada gesekan ricik air dan bebatuan yang berserakan di dasar sungai, hingga pada bau debu yang dicetuskan angin.
……………………..
Di suatu larut malam atau di suatu terik siang di tahun kesekian pencariannya (sejak terbangun dari mimpi buruk saat fajar dan senja bertukar rupa, ia mulai belajar melupakan tarikh), ketika bulan atau matahari kembali menetakkan bayangannya di atas tanah, perlahan ia insaf: sesungguhnya, dirinya sendiri tuhan itu.
***
“Jika kau membaca kitab, pertama-tama yang harus kauusahakan ialah mencipta satu bingkai yang bisa mempertemukan dirimu dengan denyut hening teks itu sendiri, dan jangan biarkan dirimu terseret oleh gema suara sang pengarang.” Nasihat itu diocehkan oleh teman saya di sebuah senja yang murung. Ia mengoceh sembari mengutip pikiran sejumlah penulis.
Kali ini, saya tidak mengacuhkan kata-kata teman saya itu. Karena secara bersamaan saya justru teringat kata-kata Dzun Nun al-Misri, sufi besar dari Mesir: “Lupakanlah segala sesuatu yang telah kaubaca dan hapuskanlah segala sesuatu yang telah kautulis, agar selubung penutup matamu terbuka.” Lagi pula, saya tertarik untuk memikirkan cermin.
Cermin, selain kitab, betul-betul mendatangkan rasa penasaran (namun, pada tingkat tertentu, benda itu membikin saya takut). Karena itu, saya berusaha mencari-cari persamaan di antara kedua benda tersebut. Dan saya menemukan ini: cermin dan kitab, keduanya memantulkan wajah sang penatap/sang pembaca itu sendiri.
Sewaktu membaca kitab, kita sesungguhnya sedang menapaki gurun tanda di mana kita bergulat dengan diri kita sendiri, dengan semua yang berdenyar di dalam diri kita. Tetapi kita sebenarnya tidak sendirian. Dalam pergulatan aneh itu samar-samar terdengar igauan orang lain, desis ular, raung harimau, gemerisik daun yang tertiup angin, celoteh para jin khadam yang mendiami ceruk gaib masing-masing huruf, bunyi tetabuhan genderang dan dengking nafiri yang bergelombang melewati gunung, sungai dan ngarai.
Menatap selembar cermin, sebagaimana membaca sebuah kitab, laksana menyelisik segurat nubuat perihal sengkarut teka-teki yang selamanya memiuh lingkaran waktu; seraut wajah yang tumpang-tindih dengan sekian juta wajah lainnya. Wajah yang menghamburkan garis-garis rajah yang maya. Di balik cermin ada lorong gaib yang melemparkan sang penatap ke dalam taman tempat ia bertemu dengan makhluk indah yang sebenarnya adalah Iblis yang menyaru.
Penulis buta Jorge Luis Borges pernah membilang satu ungkapan tentang tabiat buruk cermin yang gemar melipatgandakan manusia. Barangkali Borges benar jika yang ia maksudkan adalah citraan dari tubuh manusia yang tercetak di permukaan cermin. Sebaliknya, ia keliru bila yang dimaksudkannya adalah pelipatgandaan bentuk wadak tubuh manusia.
Bagaimanapun, saya tidak punya alasan untuk percaya kepada bayangan yang dilentingkan cermin. Saya tidak yakin kepada kekuatan cermin dalam memantulkan segenap benda yang berdiri dan melintas di hadapannya. Saya lebih percaya kepada apa yang berkelebat di dalam pikiran sang penatap cermin. “Arketipe Platonis”, istilah yang dipakai kenalan saya untuk mengikhtisarkan kepercayaan saya itu.
Ada sebuah dongeng tentang cermin yang sering diulang-ulang oleh nenek saya. Syahdan, seorang raja menitahkan pemancungan terhadap hambanya yang tak bersalah lantaran kekuatan jahat cermin. Ia, hamba yang tak bersalah itu, dituduh oleh selir raja telah mengintip kemolekan tubuhnya lewat cermin. Saat dimintai bukti, sang selir menunjuk codet di jidat kiri sang hamba. Sebenarnya, yang mengintip selir raja adalah hamba yang lain, yang memiliki codet di jidat kanan. Setelah pemancungan itu, saban kali raja menatap cermin, selalu yang ia lihat adalah wajah teduh hambanya yang dengan sesungging senyum berujar, “Kuberkati kekhilafanmu, Tuan.” Berminggu-minggu sang raja mengalami peristiwa aneh itu. Akhirnya, di sebuah subuh yang diramaikan suara bising kepak sayap kawanan kelelawar, ia memutuskan untuk meninggalkan istana, mengembara sampai ke tempat-tempat yang amat jauh. Kelak orang-orang mengenalnya sebagai pengarang kitab Takdir Manusia dan Ketaksaan Cermin, yang penuh perlambang mistik.
Bertahun-tahun cerita itu mendekam di benak saya, tak henti-henti menjejalkan sebuah tapal batas di ufuk terjauh yang tak tersentuh oleh tatapan lamur, yang menjadikan saya sosok pemurung yang gelisah. Hingga suatu ketika, tanpa disengaja, saya membaca potongan teks dari sebuah kitab yang berkisah tentang seorang sufi (tapi ada yang bilang, dia seorang alkemis), Abu Khandaq, yang memiliki riwayat yang sangat mirip dengan riwayat sang raja yang diceritakan nenek saya itu. Ada satu ungkapan Abu Khandaq yang saya ingat betul: “Dalam kepekatan gelap malam, dalam arakan kabut menjelang fajar, aku melihat sekelebat cahaya memancar dari sehelai cermin. Aku mengalihkan pandangan ke cermin itu, menatapnya terus-menerus hingga aku sendiri yang menjadi Cermin itu.” Selama seseorang belum menemukan Wajah pada cermin yang ia pandangi, maka selama itu pula wajah yang terlihat adalah wajah hantu.
Ketika saya mengabarkan soal kemiripan dua tokoh itu, nenek saya memberi nasihat, “Aku tidak tahu pasti. Aku mendengar cerita itu dari nenekku, dan nenekku dari neneknya, dan seterusnya. Barangkali sang raja dan sang sufi adalah satu orang. Tapi aku ingatkan kau untuk tidak memusingkan kemiripan riwayat itu. Sebab ketika satu cerita telah tertuturkan, tidak penting lagi apakah itu nyata atau sekadar khayalan.”
Saya tidak tahu, sampai kapan manusia harus berurusan dengan kitab dan cermin. Yang pasti, kitab dan cermin senantiasa membuat saya gentar, merasa bahwa ada selaksa kegelapan menggumpal di ujung mata saya. Sementara saya sungguh ingin berlindung dari segala yang samar-samar, dari seluruh yang menorehkan syak wasangka.
Pada dini hari, setelah dikagetkan oleh lolong anjing, saya, sewaktu menatap cermin, dengan rasa was-was membayangkan datangnya suatu masa ketika cermin dan kitab bersekutu mencelakakan manusia.
Maimata, maimata ....
☼☼☼☼☼☼☼
Versi awal tulisan ini termuat di Jurnal Cerpen Indonesia, No. 05, 2005
0 komentar:
Posting Komentar